Rabu, 17 April 2013

Kasus Cyber Law


 Pengertian CyberLaw
Istilah hukum cyber diartikan sebagai padanan kata dari CyberLaw,  yang saat ini secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan TI. Istilah lain yang juga digunakan adalah Hukum TI (Law of  Information Technology), Hukum Dunia Maya (Virtual World Law) dan Hukum Mayantara.
Secara akademis, terminologi ”cyber law” belum menjadi terminologi yang umum. Terminologi lain untuk tujuan yang sama seperti The law of the Internet, Law and the Information Superhighway, Information Technology Law, The Law of Information, dan sebagainya.
Di Indonesia sendiri tampaknya belum ada satu istilah yang disepakati. Dimana istilah yang dimaksudkan sebagai terjemahan dari ”cyber law”, misalnya, Hukum Sistem Informasi, Hukum Informasi, dan Hukum Telematika (Telekomunikasi dan Informatika).
Secara yuridis,  CyberLaw tidak sama lagi dengan ukuran dan kualifikasi hukum tradisional. Kegiatan cyber meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Kegiatan cyber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata.
CyberLaw  umumnya diasosiasikan dengan internet, yang ruang lingkupnya meliputi suatu aspek yang berhubungan dengan orang perorangangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat online dan memasuki dunia cyber atau dunia maya. CyberLaw sendiri merupakan istilah yang berasal dari Cyberspace Law.
CyberLaw juga dapat diartikan sebagai hukum yang dipergunakan dalam dunia cyber (dunia maya), yang dalam proses justifikasi dan legitimasi hukumnya memiliki pendekatan yang sedikit berbeda dengan hukum konvensional. Hal ini disebabkan, karena dasar dan fondasi hukum konvensional di banyak negara adalah “ruang” dan “waktu”, sedang dalam dunia maya, kedua istilah tersebut menjadi tidakberarti.
Di Indonesia sendiri tampaknya belum ada satu istilah yang disepakati. Dimana istilah yang dimaksudkan sebagai terjemahan dari ”cyber law”, misalnya, Hukum Sistem Informasi, Hukum Informasi, dan Hukum Telematika (Telekomunikasi dan Informatika)
Perkembangan Internet dan umumnya dunia cyber tidak selamanya menghasilkan hal-hal yang postif. Salah satu hal negatif yang merupakan efek sampingannya antara lain adalah kejahatan di dunia cyber atau, cyber crime. Hilangnya batas ruang dan waktu di Internet mengubah banyak hal. Seseorang cracker di Rusia dapat masuk ke sebuah server di Pentagon tanpa ijin. Salahkah dia bila sistem di Pentagon terlalu lemah sehingga mudah ditembus? Apakah batasan dari sebuah cyber crime? Seorang yang baru “mengetuk pintu” (port scanning) komputer anda, apakah sudah dapat dikategorikan sebagai kejahatan? Apakah ini masih dalam batas ketidak-nyamanan.
2.   Ruang Lingkup CyberLaw
Dalam upaya mendapatkan informasi dan pemahaman yang menyeluruh tentang cyber law sebagai suatu rezim hukum yang baru dengan bentuk pengaturan yang bersifat khusus atas kegiatan -kegiatan di dalam cyberspace, Jonathan Rosenoer, dalam  Cyberlaw -The Law of Internet  antara lain mencakup:
  1. Hak Cipta (Copy Right)
  2. Hak Merk (Trademark)
  3. Pencemaran nama baik (Defamation)
  4. Fitnah, Penistaan, Penghinaan (Hate Speech)
  5. Serangan terhadap fasilitas komputer (Hacking,Viruses,   Illegal Access)
  6. Pengaturan sumber daya internet seperti IP-Address, domain name
  7. Kenyamanan Individu (Privacy)
  8. Prinsip kehati-hatian (Duty care)
  9. Tindakan kriminal biasa yang menggunakan TI sebagai alat
  10. Isu prosedural seperti yuridiksi, pembuktian, penyelidikan dll
  11. Kontrak / transaksi elektronik dan tanda tangan digital
  12. Pornografi
  13. Pencurian melalui Internet
  14. Perlindungan Konsumen
  15. Pemanfaatan internet dalam aktivitas keseharian seperti E-commerce
  16. E-government, E-education dll
3.  Dasar Hukum CyberLaw di Indonesia
Dasar Undang – undang  mengenai ITE Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 (UU/2008/11). Fungsi UU ITE adalah menjadi dasar Hukum yang mengatur dan melindungi suatu Transaksi elektronik (transaksi secara online), melindungi pengguna internet khususnya yang berhubungan dengan Indonesia, dan memberi batasan perilaku yang wajar di dunia cyber. Menurut UU ITE  BAB I pasal 1 ayat 2 ; transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer , jaringan komputer , dan/atau media elektronik lainya.
Secara garis besar UU ITE mengatur hal-hal sebagai berikut :
a. Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang samadengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas).
b.   Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP.
c.  UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia.
d.  Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual.
e.  Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII  ( pasal 27 – 35 ):
  1. Pasal 27 ( Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan )
  2. Pasal 28 ( Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan )
  3. Pasal 29 ( Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti )
  4. Pasal 30 ( Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking )
  5. Pasal 31 ( Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi )
  6. Pasal 32 ( Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi  Rahasia )
  7. Pasal 33 ( Virus, Membuat Sistem Tidak Bekerja (D.O.S) )
  8. Pasal 35 ( Menjadikan Seolah Dokumen Otentik (phising) )
 4.  Perangkat Hukum CyberLaw
Agar pembentukan perangkat perundang-undangan tentang teknologi informasi mampu mengarahkan segala aktivitas dan transaksi didunia cyber sesuai dengan standar etik dan hukum yang disepakati, maka proses pembuatannya pun memerlukan beberapa tahapan dan juga kerjasama dari berbagai pihak.
Cyberlaw  tidak akan berhasil jika aspek yurisdiksi hukum diabaikan. Karena pemetaan yang mengatur cyberspace menyangkut juga hubungan antar kawasan, antar wilyah dan antar negara sehingga penetapan yurisdiksi yang jelas mutlak diperlukan.
Ada tiga yurisdiksi yang dapat diterapkan dalam dunia cyber :
  1. Yurisdiksi Legislatif di bidang pengaturan
  2. Yurisdiksi Ludicial yakni kewenangan negara untuk mengadili atau menerapkan kewenangan hukumnya
  3. Yurisdiksi Eksekutif untuk melaksanakan aturan yang dibuatnya.
5. Tujuan CyberLaw
Cyberlaw sangat dibutuhkan, kaitannya dengan upaya pencegahan tindak pidana, ataupun penanganan tindak pidana.  Cyber law akan menjadi dasar hukum dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan-kejahatan dengan sarana elektronik dan komputer, termasuk kejahatan pencucian uang dan kejahatan terorisme.
Topik-topik CyberLaw Secara garis besar ada lima topik dari cyberlaw di setiap negara yaitu:
  1. Information Security, menyangkut masalah keotentikan pengirim atau penerima dan integritas dari pesan yang mengalir melalui internet. Dalam hal ini diatur masalah kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik.
  2. On-line Transaction, meliputi penawaran, jual-beli, pembayaran sampai pengiriman barang melalui internet.
  3. Right in Electronic information, soal hak cipta dan hak-hak yang muncul bagi pengguna maupun penyedia content.
  4. Regulation Information Content, sejauh mana perangkat hukum mengatur content yang dialirkan melalui internet.
  5. Regulation on-line contact, tata karma dalam berkomunikasi dan berbisnis melalui internet termasuk perpajakan, retriksi eksport-import, kriminalitas dan yurisdiksi hukum.
6.  Komponen-komponen CyberLaw
  1. Tentang yurisdiksi hukum dan aspek-aspek terkait  komponen ini menganalisa dan menentukan keberlakuan hukum yang berlaku dan diterapkan di dalam dunia maya itu.
  2. Tentang landasan penggunaan internet sebagai sarana untuk melakukan kebebasan berpendapat yang berhubungan dengan tanggung jawab pihak yang menyampaikan, aspek accountability, tangung jawab dalam memberikan jasa online dan penyedia jasa internet (internet provider), serta tanggung jawab hukum bagi penyedia jasa pendidikan melalui jaringan internet.
  3. Tentang aspek hak milik intelektual dimana adanya aspek tentang  patent, merek dagang rahasia yang diterapkan serta berlaku di dalam dunia cyber.
  4. Tentang aspek kerahasiaan yang dijamin oleh ketentuan hukum yang berlaku di masing-masing  yurisdiksi negara asal dari pihak yang  mempergunakan atau memanfaatkan dunia maya sebagai bagian dari sistem atau mekanisme jasa yang mereka lakukan.
  5. Tentang aspek hukum yang menjamin keamanan dari setiap pengguna internet.
  6. Tentang ketentuan hukum yang memformulasikan aspek kepemilikan dalam internet sebagai bagian dari nilai investasi yang dapat dihitung sesuai dengan prinisip-prinsip keuangan atau akuntansi.
  7. Tentang aspek hukum yang memberikan legalisasi atas internet sebagai bagian dari perdagangan atau bisnis usaha.
Asas-asas Cyber Law Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu :
  1. Subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum  ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
  2. Objective  Territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku  adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
  3. Nationality yang menentukan bahwa negara mempunyai jurisdiksi untuk  menentukan  hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
  4. Passive Nationality yang menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
  5. Potective Principle yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah,
  6. Universality. Asas ini selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain. Meskipun di masa mendatang asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti computer, cracking, carding, hacking and viruses, namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional.
    Oleh karena itu, untuk ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang  dibuat berdasarkan batas-batas wilayah. Ruang  cyber dapat diibaratkan  sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi oleh screens and passwords. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan antara legally significant (online) phenomena and physical location.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar